Fenomena nikah siri sebelumnya tak pernah mencuat ke permukaan jika tak “dibantu” kasus Angel Lelga dan Bupati Garut Aceng HM Fikri. Seperti diakui Lelga—melalui pengacaranya Hotma Sitompul, September lalu—, pebisnis parfum itu baru sekali melakukan nikah siri bersama Rhoma Irama. Sementara kasus pernikahan Bupati Aceng dengan Fanny, melahirkan pemeo “istri empat oke, istri empat menit gak oke”.
Kata siri atau sir yang berarti rahasia, jelas tidak diperbolehkan jika disandingkan dengan kata nikah. Sebab, merujuk pada rukun Islam tentang perkawinan, perkawinan sah apabila diketahui oleh orang banyak. Namun etimologi tersebut berubah di Indonesia, nikah siri berarti nikah yang tidak dicatat oleh negara, “nikah di bawah tangan”.
Sejumlah ulama di Indonesia memandang nikah siri itu dihalalkan, tetapi dalam kehalalan tersebut timbul sejumlah pertanyaan. Mengapa nikah siri sering dilakukan oleh kalangan masyarakat? Apakah betul nikah tersebut untuk menghindari dari perzinaan? Ataupun hanya untuk memuaskan nafsu saja? Apakah pemerintah tidak khawatir akan nasib kaum wanita? Tidak gundah gulana jika disalahgunakan oleh masyarakat? Apakah pernikahan secara siri itu lebih banyak mudarat (keburukan) ketimbang dari manfaatnya?
Menyikapi nikah siri tersebut, Kepala KUA Kecamatan Jongkong Kabupaten Kapuas Hulu Nibung SAg mengatakan memang dalam Islam nikah siri itu dihalalkan. Tetapi kehalalannya perlu dipertanyakan, karena banyak menimbulkan mudaratnya daripada manfaatnya.
“Coba kita bayangkan, dalam jual-beli kalau ada utang-piutang harus dicatat berapa banyak utangnya. Apalagi kalau masalah pernikahan, itu lebih wajib dicatat oleh pemerintah melalui Departemen Agama sesuai UU Pernikahan,” ujar Nibung kepada Rakyat Kalbar melalui selular, Sabtu (15/12).
Menurutnya, biarpun dalam agama Islam nikah siri diperbolehkan tetapi telah melanggar UU Pernikahan dari negara. Maka dari itu, jika ada masyarakat—para pejabat, pengusaha, dan lainnya—melakukan nikah siri, berarti telah melanggar UU Pernikahan.
“Jadi, bagi yang melanggar UU Pernikahan, harus terjerat dalam hukum yang telah berlaku sekarang ini,” katanya.
Nibung menjelaskan mengapa pemerintah mengatur pernikahan dalam bentuk Undang-Undang Pernikahan di negeri ini, sebab nikah secara UU yang diakui oleh negara itu memberikan kemaslahatan bagi masyarakat.
“Jadi lebih baik masyarakat itu melakukan nikah secara resmi dalam arti melalui secara UU Pernikahan. Kalau tidak berarti mereka telah melanggar UU Pernikahan,” ucapnya.
Apakah betul nikah Siri itu untuk menghindar dari perzinaan?
Nibung menjawab belum tentu, karena kembali lagi kepada niatnya. Kalau niatnya untuk menikah hanya sekadar untuk memuaskan nafsu dan melecehkan kaum perempuan.
“Saya pikir pernikahan itu, menjadi haram hukumnya. Dikarenakan mengandung mudarat dan sangat merugikan orang lain,” jelas Nibung.
Saat ditanya siapa yang dirugikan dalam nikah siri tersebut, dengan tegas pegawai KUA tersebut menjawab: kaum perempuan.
“Coba kalau ada masalah dalam keluarganya. Kepada siapa perempuan itu menggugat? Ke pengadilan agama, tidak mungkin. Karena pernikahan yang telah dilakukan itu tidak sah secara aturan kepemerintahan,” terangnya. Nibung menambahkan, “Jadi sangat melecehkan kaum perempuan. Maka kita sangat berharap kepada masyarakat kalau mau nikah, nikahlah secara baik-baik sesuai dengan UU Pernikahan,” pungkas Nibung.
Terpisah, Kepala KUA Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya Abdul Gapur mengatakan memang dalam Islam nikah siri itu dihalalkan. Hanya saja banyak disalahgunakan oleh oknum masyarakat.
“Kita hidup bernegara, makanya harus mengikuti aturan negara. Nikahlah secara baik sesuai dengan UU Pernikahan,” jelasnya.
Ia berharap kepada masyarakat agar bisa mengikuti aturan negara. Lakukan pernikahan secara tercatat oleh pemerintah. Karena sudah diatur dalam UU. “Kalau ada masyarakat nikah secara siri, berarti dirinya sudah melanggar UU Pernikahan,” demikian Abdul.
Fenomena gunung es
Ada kasus terbaru nikah siri di kalangan pejabat. Melibatkan anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Deni Ramdani Sagara, yang dilaporkan istri sahnya Fitri Wulan ke polisi. Prihatin atas mulai terkuaknya kasus demi kasus tersebut, Sekretaris Majelis Tabligh Pengurus Wilayah Aisyah Kalbar Misdah MAg menyebut pemerintah bertanggung jawab akan hal ini.
“Menurut saya negara juga bertanggung jawab dalam hal ini. Dengan undang-undang yang tidak memperbolehkan poligami juga peluang atau celah yang bisa digunakan oleh umat beragama, khususnya umat Islam yang memang memperbolehkan. Hanya hukum negara yang melarang akhirnya muncullah yang namanya nikah siri itu,” katanya menjawab Rakyat Kalbar, Sabtu (15/12).
Ia menjelaskan, sebenarnya nikah itu tidak ada istilah siri dan tidak siri. Tetapi tidak diperbolehkannya beristri lebih dari satu bagi pejabat struktural, menjadi celah untuk melakukan nikah yang tidak tercatat di negara itu.
“Sudah jelas hukum pernikahan itu dikatakan sah apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Dalam praktik nikah siri selama rukunnya dipenuhi hukumnya sah. Kenapa ada istilah siri, karena dirahasiakan atau disembunyikan,” jelasnya.
Dalam artian tidak tercatat dalam hukum positif negara. Tetapi tetap saja diketahui oleh pihak keluarga baik mempelai laki-laki maupun perempuan. Hanya saja tidak tercatat secara negara.
“Jadi secara hukum agama sah-sah saja. Tetapi di dalam syariat Islam harus mempertimbangkan kemaslahatannya (kebaikannya). Apa mudarat nikah siri yang menurut hukum negara itu dianggap ilegal. Sehingga dampak-dampak negatifnya bermunculan seperti fenomena sekarang,” terang Misdah.
Memang, fenomena terkuaknya satu per satu pejabat negara maupun sejumlah masyarakat di Indonesia itu disebut Misdah sebagai fenomena gunung es.
“Mengapa, karena khususnya di lingkungan pejabat struktural politik dan pemerintah hal itu bukan rahasia umum lagi. Hanya saja, sekarang baru bermunculan, karena ada yang memunculkannya di media,” ungkap Misdah.
Fenomena ini muncul karena kurangnya kesadaran hukum dari pihak perempuan sehingga jadi masalah. Kalau dulu-dulu praktik seperti itu bukan hal yang baru.
“Bahkan dilakukan oleh orang-orang ternama dan mempunyai jabatan yang tinggi di negara ini. Hanya saja tidak ada yang membukanya. Ketika ada yang membuka gerbangnya, maka bermunculan yang lain,” ujar Misdah.
Ketua Kajian Tafsir Alquran As Syifa Pontianak ini menilai dampak dari nikah siri luar biasa. Tidak bisa dikatakan istri tua sebagai korban. Tetapi baik dia pertama atau ke dua, posisinya sama-sama korban.
“Kalau kita urai benangnya tetap saja perempuan yang menjadi korban. Kita tidak boleh menilai perempuan yang mau dinikahi adalah seorang yang tidak punya perasaan,” katanya.
Dosen Pascasarjana STAIN ini menjelaskan, di dalam Alquran itu sebuah akad atau perjanjian yang sakral harus dicatat. Jual-beli saja Allah perintahkan untuk ditulis. Apalagi sesakral akad nikah. Secara hukum agama sah, hanya saja ada dampak yang ditimbulkan.
“Ke depan, bagaimana negara memandang masalah hukum siri ini. Supaya jangan sampai perempuan lagi yang jadi korban. Tidak menutup kemungkinan seorang laki-laki bisa dengan semena-mena menceraikan istrinya bahkan hanya lewat SMS,” tuturnya.
Terkait poligami yang legal, tentu ada syarat yang harus dipenuhi seperti izin dari istri sebelumnya. Sehingga, pernikahan tersebut sah secara agama dan negara. Karena dampak dari nikah ini luar biasa, bukan hanya masalah ibu dan bapaknya. Tetapi juga ke anaknya, ketika bapaknya meninggal tidak bisa mendapatkan warisan.
“Harusnya menikah itu menenteramkan, sakinah mawaddah, dan warahmah. Bukan setelah menikah jadi sengsara. Bagaimanapun dampaknya besar, hampir jarang sekali yang adem saja. Bagaimanapun negara kita memerlukan surat-menyurat seperti akta,” jelas Bunda Misdah, panggilan akrabnya.
Terkait perlindungan terhadap perempuan, dia menegaskan, negara harus memikirkan sebentuk undang-undang. Agar perempuan juga terlindungi oleh hukum.
“Sebenarnya kalau poligami mengikuti syariat tidak masalah. Kalau memang di seluruh internal itu saling memahami. Supaya fenomena itu tidak merisaukan masyarakat,” tambah ibu dua anak ini.
Misdah mengatakan di Kalbar memang secara kasatmata tidak kelihatan. Hanya saja tidak mempunyai kekuatan hukum untuk membuktikannya. Mereka bersembunyi dan mempertahankan statusnya.
“Saya rasa tidak perlu diusut, hal itu hak pribadi dan juga tidak etis untuk diusut. Selama tidak ada laporan atau keluhan. Mungkin dengan itu mereka tetap ingin mempertahankan jabatan dan tidak ada yang komplain,” katanya.
Ketika ada pihak lain yang dirugikan, dirinya mengimbau kepada perempuan untuk menghindari hal sembunyi. Kalau bisa terang-terangan kenapa harus sembunyi?
Namun yang terutama, bagaimana upaya negara meminimalisasi dampak-dampak dari nikah siri. Sebenarnya, kalau tidak ada “masalah” kenapa juga harus nikah siri?
0 Comment for "Antara Manfaat dan Mudarat, Dimanakah Nikah Siri?"