Membina Kemandirian Pasca Pernikahan


*Oleh Joko Setiawan, A Social Worker, Seorang Pembelajar Sepanjang Zaman

Catatan ini sebenarnya masihlah jauh dari kenyataan. Karena, masih hanya berupa impian dan cita-cita di masa depan. Ya, karena narasi ini adalah rangkaian cerita kisah nyata yang prosesnya masih panjang dan entah bagaimana ujung akhirnya. Namun terlepas dari itu semua, tersimpan asa dan sebuah semangat besar, bahwa perencanaan adalah bagian dari doa yang semoga Allah memberikan kemudahan jalan dalam perwujudan dan pencapaiannya, Aamiin..

Kemandirian adalah satu kata yang begitu melekat erat dalam diri saya. Pada awalnya terasa tidak enak, namun berkat dididik sedari usia SMP, akhirnya saya mampu memaknai bahwa memang sejatinya kemandirianlah inti dari perjalanan hidup. Mandiri tanpa tersesat, mandiri dengan tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah. Apalagi, kemandirian juga merupakan salah satu dari 10 muwashofat tarbiyah, salah satu karakter seorang rijalud daulah, Qadirun ‘alal Kasbi (independent)..

Kemandirian juga tidak terlepas dari kondisi pasca pernikahan. Sebagian besar dari kita, telah terbiasa dengan kehidupan bersama orang tua, sedari kecil, sekolah, kuliah, bahkan ketika telah bekerja pun, diri kita senantiasa masih tinggal bersama kedua orang tua. Kemudian, secara tiba-tiba, pasca pernikahan, menjadi hidup hanya berdua bersama suami/isteri tercinta..

Saya sendiri, karena sudah terbiasa hidup mandiri sedari usia 13 tahun, maka pilihan untuk memisahkan diri dari orang tua pasca pernikahan, menjadi pilihan yang telah saya pertimbangkan secara serius. Bukan bermaksud ingin menjauhkan diri dari orang tua kandung ataupun mertua, namun lebih kepada pembuktian diri bahwa dengan usaha, kerja keras serta doa-doa yang mengalir deras dari berbagai pihak, Allah akan selalu memberikan pertolongan-Nya..

Selain itu, kemandirian pasca pernikahan juga akan menjadi ajang pendewasaan saya bersama sang isteri (pada saat tulisan ini dibuat, saya masih belum punya isteri he he). Pendewasaan tersebut akan terbangun dengan memenuhi kebutuhan hidup berdua, mengurus tempat tinggal dan segala macam kaitan tentangnya, menghadapi masalah dan mencari solusinya bersama-sama, bertetangga, dan masih begitu banyak sisi kehidupan yang memang harus belajar dihadapi berdua..

Jika semua berjalan lancar sesuai rencana, per bulan Juni 2014, saya tak akan lagi hidup sendiri. Karena bidadari dunia itu telah dipertemukan oleh Allah dalam naungan satu ikatan suci nan halal, yakni pernikahan. Dan karena posisi pekerjaan saya ada di Kalimantan, maka azzam kuat saya adalah untuk segera memboyong sang isteri terkasih hijrah ke seberang Pulau Jawa melewati samudera luas, dari Kota Bandung menuju Kota Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provoinsi Kalimantan Timur..

Tak muluk-muluk dengan langsung membeli rumah di tanah ini. Kontrakan sudahlah cukup untuk memulai hidup berdua. Lingkungan yang tidak terlalu sepi (lumayan ramai), dekat dengan ikhwah, terdapat beberapa fasilitas umum yang dibutuhkan, dan tentu saja harga sewa yang tidak terlalu mahal, menjadi pertimbangan atas rencana hidup baru yang memang benar-benar baru akan dimulai berdua..

Kegoncangan keseharian yang akan terjadi, misalnya terkait dengan aktivitas sang isteri yang pada awalnya begitu aktif, kemudian tiba-tiba berada di lingkungan baru, yang belum tahu harus melakukan apa, dengan siapa dan kapan saja waktunya. Namun, hal tersebut juga telah saya pertimbangkan sebelumnya. Beberapa alternatif telah saya gali jauh hari sebelumnya, seperti kemungkinan bekerja di Lembaga Zakat dan atau menjadi guru bantu di SMA Islam Terpadu (IT)..

Jika bukan aktivitas formal, sang isteri sholihah juga dapat mengaktifkan DPD PKS Kabupaten Kutai Kartanegara yang untuk aktivitas akhwat/ummahat nya masih kurang begitu aktif sebagaimana yang dapat ditemui di DPC-DPC Kota Bandung sana..

Khawatir. Perasaan semacam ini akan selalu ada ya, tapi kan tidak berarti kemudian menjadi justifikasi untuk melunakkan pelatihan kemandirian bagi keluarga baru kami. Aktivitas kerja saya memang tidak memungkinkan untuk selalu bersama sang isteri terkasih, karena saya harus 30 hari full kerja di tengah hutan, baru kemudian mendapatkan jatah libur 10 hari. Kalau ada tanggal merah (selain hari Minggu),bakal menjadi tambahan waktu libur saya. Dengan kondisi waktu kerja yang sedemikian rupa, saya harus ekstra perhatian dan mengenal lebih jauh kehidupan bersama sang isteri yang hanya terbatas pada pertemuan fisik yang kurang lebih selam 10 hari saja tersebut. Benar-benar bukan pekerjaan yang mudah, tapi juga bukan merupakan suatu pekerjaan yang terlalu susah he he. Intinya adalah pada saling pengertian dan memaklumi kondisi masing-masing. Komunikasi dan Diskusi alias Musyawarah menjadi hal yang akan terus saya kedepankan dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis dalam kehidupan rumah tangga berdua..

Ini adalah langkah awal untuk membangun kemandirian berdua secara kuat. Karena, saya masih ada target yang lebih jauh ke depan. Yakni meraih beasiswa untuk melanjutkan kuliah program Master (S2) di bidangSocial Work, Disaster Management, Community Development atau Public Policy di Negeri Matahari Terbit, alias Jepang. Jadi, tinggal di Kalimantan bukanlah pilihan terakhir dengan berakhir di Pulau Borneo ini, karena saya anggap sebagai batu loncatan semata. Maka, jika tiket beasiswa tersebut telah saya dapatkan, kemungkinan saya akan mengajak isteri untuk hijrah ke Negeri Sakura, dan ia pun juga harus melanjutkan kuliah S1 atau S2 di sana, sembari mengurus anak-anak sekolah di sana pula. Sungguh, membayangkannya saja sudah tampak betapa berat perjuangan kami saat impian tersebut tercapai, dan perjuangan memang harus benar-benar ditampakkan di negeri rantau nan jauh di mata. Tapi, tak perlu terlalu sedih, karena kami masih punya Allah yang selalu membersamai dan senantiasa mengabulkan doa-doa kami untuk dapat keluar dari berbagai macam persoalan dan permasalahan hidup yang menghadang, insya Allah.. ^^


Kemandirian ini, insya Allah akan membanggakan kedua orang tua,baik kedua orang tua saya sendiri, maupun kedua orang tua sang isteri. Lagipula, saya sudah pernah berjanji kepada calon ibu mertua, bahwa saya akan menjadi Menantu Terbaik bagi keluarga Bapak DH dan Ibu TS. Terbaik dalam mengurus anaknya, terbaik dalam menjadi contoh/teladan sebagai seorang suami dan ayah terbaik bagi umat,insya Allah..
Labels: Tips Trik

Thanks for reading Membina Kemandirian Pasca Pernikahan. Please share...!

0 Comment for "Membina Kemandirian Pasca Pernikahan"

Back To Top